Nama dan Nasab beliau
Nama Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim. Abu Thalib adalah saudara kandung Abdullah bin Abdul Muththalib, ayah baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi Ali bin Abi Thalib adalah saudara sepupu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau dijuluki Abul Hasan dan Abu Turab.
Ketika Imam Ali r.a. menginjak usia 6 tahun, Makkah dan sekitarnya dilanda paceklik hebat. Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan sehari-hari sulit diperoleh. Bagi mereka yang berkeluarga besar dan ekonomi lemah, seperti keluarga Abu Thalib, pukulan paceklik terasa parah sekali.
Pada masa paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. telah berumah tangga dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a. Beliau tak dapat melupakan budi pamannya yang telah memelihara dan mengasuh beliau sejak kecil hingga dewasa. Bertahun-tahun beliau hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib, mengikuti suka-dukanya dan mengetahui sendiri bagaimana keadaan penghidupannya.
Dalam suasana paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. menyadari betapa beratnya beban yang dipikul pamannya, Abu Thalib, yang sudah lanjut usia. Hati beliau terketuk dan segera mengambil langkah untuk meringankan beban pamannya.
Nabi Muhammad s.a.w. mengetahui, bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib, juga paman beliau, adalah seorang terkaya di kalangan Bani Hasyim. Dibanding dengan saudara-saudaranya, Abbas mempunyai kemampuan ekonomis yang lebih baik. Dengan tujuan untuk meringankan beban Abu Thalib, beliau temui Abbas bin Abdul Mutthalib. Kepada pamannya itu beliau kemukakan betapa berat derita yang ditanggung Abu Thalib sebagai akibat paceklik. Kemudian, dalam bentuk pertanyaan, Nabi Muhammad s.a.w berkata: "Bagaimana paman, kalau kita sekarang ini meringankan bebannya? Kusarankan agar paman mengambil salah seorang anaknya. Aku pun akan mengambil seorang."
Abbas bin Abdul Mutthalib menyambut baik saran Nabi Muhammad s.a.w. Setetah melalui perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat kesepakatan: Ja'far bin Abi Thalib diserahkan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Sejak itu Imam Ali r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan isteri beliau, Sitti Khadijah binti Khuwailid r.a. Bagi Imam Ali r.a. sendiri lingkungan keluarga yang baru ini, bukan merupakan lingkungan asing. Sebab Nabi Muhammad sendiri dalam masa yang panjang pernah hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib. Malahan yang menikahkan Nabi Muhammad s.a.w. dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a., juga Abu Thalib.
Bagi Nabi Muhammad s.a.w., Imam Ali r.a. bukan hanya sekedar saudara misan, malahan dalam pergaulan sudah merupakan saudara kandung. Lebih-lebih setelah dua orang putera lelaki beliau, Al Qasim dan Abdullah, meninggal. Betapa besar kasih sayang yang beliau curahkan kepada putera pamannya itu dapat diukur dari berapa besarnya kasih-sayang yang ditumpahkan Abu Thalib kepada beliau. Bahkan pada waktu dekat menjelang bi'tsah, Nabi Muhammad s.a.w. sering mengajak Imam Ali r.a. menyepi di gua Hira, yang terletak dekat kota Mekkah. Ada kalanya Imam Ali r.a. diajak mendaki bukit-bukit sekeliling Makkah guna menikmati keindahan dan kebesaran ciptaan Allah s.w.t.
Sejak usia muda Imam Ali r.a. sudah menghayati indahnya kehidupan di bawah naungan wahyu Illahi, sampai tiba saat kematangannya untuk menghadapi kehidupan sebagai orang dewasa. Selama masa itu beliau mengikuti perkembangan yang dialami Rasul Allah s.a.w. dalam kehidupannya.
Sungguh merupakan saat yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan jiwa Imam Ali r.a. dengan berada di dalam lingkungan keluarga termulia itu. Periode yang paling berkesan dalam kehidupan Imam Ali r.a. adalah dimulai dari usia 6 tahun sampai Nabi Muhammad s.a.w. menerima wahyu pertama dari Allah s.w.t. Imam Ali r.a. mendapat kesempatan yang paling baik, yang tidak pernah dialami oleh siapa pun juga, ketika Nabi Muhammad s.a.w. sedang dipersiapkan Allah s.w.t. untuk mendapat tugas sejarah yang maha penting itu.
Imam Ali r.a. menyaksikan dari dekat saudara misannya melaksanakan ibadah kepada Allah s.w.t dengan cara yang berbeda sama sekali dari tradisi dan kepercayaan orang-orang Makkah ketika itu. Imam Ali r.a. menyaksikan juga betapa saudara misannya menjauhi kehidupan jahiliyah, menjauhi kebiasaan minum khamar, menjauhi perzinahan. Selain itu, dengan mata kepala sendiri Imam Ali r.a. menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa dan fikiran Nabi Muhammad s.a.w.
Semua warisan yang telah diterima Imam Ali r.a. dari para orangtuanya, kini berkembang mekar di hadapan seorang maha guru yang cakap dan bijaksana, yaitu putera pamannya sendiri. Manusia terbesar di dunia itulah yang menghubungkan diri Imam Ali r.a. dengan Allah s.w.t.
Ali bin Abi Thalib masuk Islam
Mayoritas ahli sejarah Islam menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah orang kedua yang masuk Islam setelah Khadijah radhiyallahu ‘anha, di mana usia beliau saat itu masih berkisar antara 10 dan 11 tahun. Ini adalah suatu kehormatan dan kemuliaan bagi beliau, di mana beliau hidup bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan terdepan memeluk Islam. Bahkan beliau adalah orang pertama yang melakukan shalat berjamaah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana ditulis oleh al-Askari (penulis kitab al-Awa`il).
Sifat fisik dan kepribadian beliau
Beliau adalah sosok yang memiliki tubuh yang kekar dan lebar, padat berisi dengan postur tubuh yang tidak tinggi, perut besar, warna kulit sawo matang, berjenggot tebal berwarna putih seperti kapas, kedua matanya sangat tajam, murah senyum, berwajah tam-pan, dan memiliki gigi yang bagus, dan bila berjalan sangat cepat.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah sosok manusia yang hidup zuhud dan sederhana, memakai pakaian seadanya dan tidak terikat dengan corak atau warna tertentu. Pakaian beliau berbentuk sarung yang tersimpul di atas pusat dan menggantung sampai setengah betis, dan pada bagian atas tubuh beliau adalah rida’ (selendang) dan bahkan pakaian bagian atas beliau bertambal. Beliau juga selalu mengenakan kopiah putih buatan Mesir yang dililit dengan surban.
Ali bin Abi Thalib juga suka memasuki pasar, menyuruh para pedagang bertakwa kepada Allah dan menjual dengan cara yang ma`ruf.
Beliau menikahi Fatimah az-Zahra putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dikarunia dua orang putra, yaitu al-Hasan dan al-Husain.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah sosok pejuang yang pemberani dan heroik, pantang mundur, tidak pernah takut mati dalam membela dan menegakkan kebenaran. Keberanian beliau dicatat di dalam sejarah, sebagai berikut:
a) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin berhijrah ke Madinah pada saat rumah beliau dikepung di malam hari oleh sekelompok pemuda dari berbagai utusan kabilah Arab untuk membunuh Nabi, Nabi menyuruh Ali bin Abi Thalib shallallahu ‘alaihi wasallam tidur di tempat tidur beliau dengan mengenakan selimut milik beliau. Di sini Ali bin Abi Thalib benar-benar mempertaruhkan nyawanya demi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan penuh tawakal kepada Allah Ta’ala.
Keesokan harinya, Ali disuruh menunjukkan keberadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun beliau menjawab tidak tahu, karena beliau hanya disuruh untuk tidur di tempat tidurnya. Lalu beliau disiksa dan digiring ke Masjidil Haram dan di situ beliau ditahan beberapa saat, lalu dilepas.
b) Beliau kemudian pergi berhijrah ke Madinah dengan berjalan kaki sendirian, menempuh jarak yang sangat jauh tanpa alas kaki, sehingga kedua kakinya bengkak dan penuh luka-luka setibanya di Madinah.
c) Ali bin Abi Thalib terlibat dalam semua peperangan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, selain perang Tabuk, karena saat itu beliau ditugasi menjaga kota Madinah. Di dalam peperangan-peperangan tersebut beliau sering kali ditugasi melakukan perang tanding (duel) sebelum peperangan sesungguhnya dimulai. Dan semua musuh beliau berhasil dilumpuhkan dan tewas. Dan beliau juga menjadi pemegang panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Keutamaan Ali bin Abi Thalib
Keutamaan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sangat banyak sekali. Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi keutamaan dan keistimewaan beliau. Berikut ini di antaranya:
-Ali adalah manusia yang benar-benar dicintai Allah dan RasulNya
Pada waktu perang Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bendera ini sungguh akan saya berikan kepada seseorang yang Allah memberikan kemenangan melalui dia, dia mencintai Allah dan RasulNya, dan dia dicintai Allah dan RasulNya.” Maka pada malam harinya, para sahabat ribut membicarakan siapa di antara mereka yang akan mendapat kehormatan membawa bendera tersebut. Dan keesokan harinya para sahabat datang menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, masing-masing berharap diserahi bendera. Namun beliau bersabda, “Mana Ali bin Abi Thalib?” Mereka menjawab, “Matanya sakit, ya Rasulullah.” Lalu Rasulullah menyuruh untuk menjemputnya dan Ali pun datang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyemburkan ludahnya kepada kedua mata Ali dan mendoakannya. Dan Ali pun sembuh seakan-akan tidak pernah terkena penyakit. Lalu beliau memberikan bendera kepadanya. Ali berkata, “Ya Rasulullah, aku memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Beliau menjawab, “Majulah dengan tenang sampai kamu tiba di tempat mereka, kemudian ajaklah mereka masuk Islam dan sampaikan kepada mereka hak-hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Demi Allah, sekiranya Allah memberikan hidayah kepada seorang manusia melalui dirimu, sungguh lebih baik bagimu dari pada unta-unta merah.” (HR. Muslim, no. 2406).
-Jiwa juang Ali sangat melekat di dalam kalbunya, sehingga ketika Rasulullah ingin berangkat pada perang Tabuk dan memerintah Ali agar menjaga Madinah, Ali merasa keberatan sehingga mengatakan, “Apakah engkau meninggalkan aku bersama kaum perempuan dan anak-anak?”
Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru menunjukkan kedudukan Ali yang sangat tinggi seraya bersabda, “Apakah engkau tidak ridha kalau kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada kenabian sesudahku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
-Beliau juga adalah salah satu dari sepuluh orang yang telah mendapat “busyra biljannah” (berita gembira sebagai penghuni surga), sebagaimana dinyatakan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak.
-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan kepada Ali radhiyallahu ‘anhu, “bahwa tidak ada yang mencintainya kecuali seorang Mukmin dan tidak ada yang membencinya, kecuali orang munafik.” (HR. Muslim)
-Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda kepada Ali radhiyallahu ‘anhu,
أَنْتَ مِنِّيْ وَأَنَا مِنْكَ.
“Engkau adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darimu.” (HR. al-Bukhari).
-Beliau juga sangat dikenal dengan kepandaian dan ketepatan dalam memecahkan berbagai masalah yang sangat rumit sekalipun, dan beliau juga seorang yang memiliki `abqariyah qadha’iyah (kejeniusan dalam pemecahan ketetapan hukum) dan dikenal sangat dalam ilmunya. (Lihat: Aqidah Ahlussunnah fi ash-Shahabah, jilid I, halaman 283).
Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah
Ketika Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah keempat, situasi dan suasana kota Madinah sangat mencekam, dikuasai oleh para pemberontak yang telah menodai tanah suci Madinah dengan melakukan pembunuhan secara keji terhadap Khalifah ketiga, Uts-man bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.
Ali bin Abi Thalib dalam pemerintahannya benar-benar menghadapi dilema besar yang sangat rumit, yaitu:
1) Kaum pemberontak yang jumlahnya sangat banyak dan menguasai Madinah.
2) Terbentuknya kubu penuntut penegakan hukum terhadap para pemberontak yang telah membunuh Utsman bin ‘Affan, yang kemudian melahirkan perang saudara, perang Jamal dan Shiffin.
3) Kaum Khawarij yang dahulunya adalah para pendukung dan pembela beliau kemudian berbalik memerangi beliau.
Namun dengan kearifan dan kejeniusan beliau dalam menyikapi berbagai situasi dan mengambil keputusan, beliau dapat mengakhiri pertumpahan darah itu melalui albitrasi (tahkim), sekalipun umat Islam pada saat itu masih belum bersatu secara penuh.
Abdurrahman bin Muljam, salah seorang pentolan Khawarij memendam api kebencian terhadap Ali bin Abi Thalib, karena dianggap telah menghabisi rekan-rekannya yang seakidah, yaitu kaum Khawarij di Nahrawan. Maka dari itu ia melakukan makar bersama dua orang rekannya yang lain, yaitu al-Barak bin Abdullah dan Amr bin Bakar at-Tamimi, untuk menghabisi Ali, Mu’awiyah dan Amr bin al-’Ash, karena dia anggap sebagai biang keladi pertumpahan darah.
Al-Barak dan Amr gagal membunuh Mu’awiyah dan Amr bin al-’Ash, sedangkan Ibnu Muljam berhasil mendaratkan pedangnya di kepala Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib, pada dini hari Jum’at, 17 Ramadhan, tahun 40 H saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah. dan beliau wafat keesokan hari-nya.
ini dia pahlawan favoritku, benar2 ajdi suri tauladan manusia
BalasHapus